Bila alam sudah murka terhadap manusia maka bersiap-siaplah menuai
berbagai bencana. Dalam berbagai lini kehidupan manusia dapat kita
rasakan secara nyata sekarang ini dampak yang ditimbulkan oleh
terjadinya Pemanasan Global
akibat Efek Rumah Kaca yang pada akhirnya menyebabkan perubahan iklim
secara global. Fenomena ini, yang dipopulerkan oleh kaum intelektual dan
pers, sebetulnya sudah menunjukkan gejalanya semenjak menginjak era
millennium. Momentum awalnya mungkin dapat kita saksikan pada beberapa
dekade sebelumnya pada saat revolusi industri sedang gencar-gencarnya
seraya dengan makin cepatnya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan saat
itu. Sungguh sangat disayangkan dan disesalkan bila kemapanan dalam
bidang sains justru merusak bumi yang menjadi pijakan manusia selama ini
dan bukannya makin menjaga kelestariannya. Bukankah bumi ini diwariskan
kepada kita untuk menjaga dan melestarikannya, bukan malah
mengeksplotasinya seenak hati tanpa memikirkan dampak negatif yang akan
terjadi. Lantas, bagaimana sikap kita dalam mengatasi konflik global
yang berkepanjangan ini ? Seberapa besar ancaman yang kita hadapi baik
untuk saat ini maupun nantinya?
Pemanasan global (global warming)
sebagai bentuk ketidakseimbangan ekosistem bumi merupakan kondisi
meningkatnya suhu rata-rata global permukaan bumi yang terjadi akibat
meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (karbondioksida, metana, dinitro
oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, sulfur heksafluorida) di
atmosfer. Emisi ini dihasilkan terutama dari pembakaran bahan-bakar
fosil (minyak bumi dan batu bara) serta penggundulan dan pembakaran
hutan. Efek Rumah Kaca sebagai
suatu bentuk sistem ekosistem di bumi justru sangat dibutuhkan oleh
makhluk hidup di bumi. Tanpanya bumi akan menjadi lebih dingin. Akan
tetapi, sistem tersebut akan bersifat merusak jika berlebihan dalam
artian Efek Rumah Kaca telah menghasilkan sejumlah panas yang berlebih
dibandingkan dengan kondisi normalnya.
Pemanasan global memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan
baik terhadap lingkungan maupun setiap bidang kehidupan manusia.
Beberapa di antaranya adalah :
• Naiknya permukaan air laut global disebabkan oleh mencairnya es di
kutub utara dan selatan. Hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam dan mengancam kehidupan sosal-ekonomi
masyarakat pesisir.
• Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim.
• Punahnya berbagai jenis fauna.
• Migrasi sejumlah hewan untuk menemukan habitat baru yang sesuai.
• Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
• Ketinggian gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada puncaknya.
• Terjadinya perubahan arus laut .
• Meluasnya berbagai penyakit tropis ke daerah-daerah baru.
Pergeseran iklim yang terjadi di Indonesia, seharusnya bulan September
sudah memasuki musim penghujan bergeser ke bulan November, merupakan
salah satu bukti makin seriusnya dampak yang disebabkan oleh pemanasan
global. Belum lagi kenaikan permukaan laut Indonesia sebesar 0,8 cm per
tahun merupakan ancaman bagi pulau-pulau kecil di nusantara. Telah
diberitakan pula bahwa sebuah danau di Cile tiba-tiba hilang akibat
melelehnya dinding es yang menjadi pembendung danau. Para pakar
menyatakan setelah melakukan inspeksi bahwa hal ini disebabkan oleh
pemanasan global. Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari
sejumlah kasus yang ada. Pada intinya, pemanasan global memberikan
nuansa baru yang mengerikan bagi kehidupan manusia di masa sekarang
terlebih lagi untuk jangka waktu ke depannya bila tidak segera diatasi
sedini mungkin. Oleh karena itu, walaupun boleh dikata sudah terlambat,
sepatutnya kita membuat langkah-langkah strategis dalam mengatasi
persoalan ini.
Protokol Kyoto
Menanggapi fenomena yang terjadi sebagian besar negara di dunia sepakat
untuk mengambil langkah-langkah serius dalam menstabilkan emisi Gas
Rumah Kaca, terutama karbondioksida. Sebagai langkah awal disusunlah Framework Convention on Climate Change
pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang ditandatangani oleh 167
negara. Kerangka konvensi bertujuan agar negara-negara industri
mengurangi emisi karbondioksida mereka. Walaupun hasil akhirnya hanya
sedikit yang memenuhi target. Berselang 5 tahun kemudian tepatnya pada
bulan Desember 1997 sebanyak 160 negara mengadakan pertemuan untuk
merumuskan perjanjian yang lebih mengikat secara internasional sebagai
tindak lanjut dari beberapa kesepakatan sebelumnya. Perjanjian tersebut
dikenal dengan nama Protokol Kyoto,
dinamakan demikian karena perjanjian ini dibentuk di Kyoto, Jepang.
Jangka waktu penandatanganan persetujuan tersebut adalah satu tahun yang
dimulai pada tanggal 16 Maret 1998 hingga 15 Maret 1999.
Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan
emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan
target waktu hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara
internasional pada tanggal 16 Februari 2005. Hingga 23 Oktober 2007
sudah 179 negara yang meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Kemudian
pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diselenggarakanlah Konvensi
Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)
dan dihadiri hampir 10 ribu orang dari 185 negara. Melalui pertemuan
tersebut diharapkan dapat mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol Kyoto
yang dibuat sebagai bukti komitmen negara-negara sedunia dalam
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca demi menanggulangi permasalahan Pemanasan Global yang terjadi saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar